Judul : “INDONESIA IS GOOD,” hanya itu yang bisa terungkap dari warga Muslim Uyghur
link : “INDONESIA IS GOOD,” hanya itu yang bisa terungkap dari warga Muslim Uyghur
“INDONESIA IS GOOD,” hanya itu yang bisa terungkap dari warga Muslim Uyghur
Meniti Jejak Marcopolo Di Tiongkok
“INDONESIA IS GOOD,” hanya itu yang bisa terungkap dari warga Muslim Uyghur setiap kali saya berusaha mengajak mereka berbicara. Kata penerjemah kami, Mohammed, Indonesia merupakan negara Islam yang menjadi panutan bagi warga muslim Uyghur.
Uyghur merupakan salah satu suku bangsa yang mendiami sisi barat Tiongkok. Mereka menghuni kawasan yang konon pernah dijejaki Marco Polo kala meniti Jalur Sutra perdagangan klasik lewat darat yang menghubungkan Eropa dan Asia.
Mungkin para pelancong kerap bertanya, seberapa panjang Jalur Sutra itu? Apabila kita membuka kembali lembaran sejarah, tampaknya perjalanan Marco Polo (1254-1324) dapat menjadi dasarnya. Marco Polo, petualang dan pedagang asal Italia, memulai perjalanan epiknya dari Venesia melintasi Asia Tengah, hingga daratan Tiongkok.
Jalur Sutra memang boleh dikata merupakan rute perjalanan yang tidak banyak dicecapi banyak pelancong. Selain lokasinya yang sulit dan cuaca yang tidak bersahabat, bahasa pun menjadi kendala. Namun, di balik kesengsaraan mencapai Jalur Sutra, terbentang eksotika yang luar biasa. Sejujurnya, saya tidak pernah terpikir untuk mengunjungi jejak Jalur Sutra di Tiongkok. Salah satu persiapan saya adalah menonton petualangan Michael Yamashita di Xinjiang.
Semua bermula di kota urumqi. Kesan pertama saya ketika masuk ibu kota Daerah Otonomi Xinjiang ini adalah cuacanya yang nyaman dengan keramahan warga Muslim. Ketika saya memberitahukan bahwa saya berasal dari Indonesia, mereka menyapa Assalamualaikum. Bahkan, dengan bahasa Inggris patah-patah ala Tarzan, mereka mengajak saya untuk mencoba aneka hidangan dan kudapan.
Saya memiliki sebuah kenangan yang paling berkesan saat hendak memotret kedai makan. Setelah mereka mengetahui saya dari Indonesia, mereka mengajak saya masuk warung yang menyajikan ragam hidangan khas setempat layaknya raja. Hebatnya, saya dan teman-teman dijamu gratis. Bagi mereka, Indonesia identik dengan negara Muslim yang hebat.
Erdaqiao Grand Bazar merupakan salah satu destinasi yang mengekalkan ornamen peradaban Islam di Urumqi. Sejatinya, pasar ini tidak jauh berbeda dengan pasar kebanyakan di Indonesia. Namun, warganya menjadi pesona tersendiri bagi saya: Mereka tampak cantik, unik, dan fotogenik.
Saya berkesempatan menikmati terbitnya mentari dari Red Hill, sebuah bukit berpagoda yang menghadap Kota Urumqi. Malam harinya saya juga menyempatkan diri menonton atraksi tari dari suku-suku penjuru Xinjiang. Orang-orang suku Tajik, Kyrgysztan, hingga Tartar menari dengan semangat.
Urumqi, demikian berita yang saya baca, adalah kota yang kurang maju. Namun, pada kenyataannya Urumqi adalah kota modern. Sulit membayangkan, betapa kota di tengah padang tandus ternyata lebih bagus dari kebanyakan kota di Indonesia.
Erdaqiao Grand Bazar merupakan salah satu destinasi yang mengekalkan ornamen peradaban Islam di Urumqi. Sejatinya, pasar ini tidak jauh berbeda dengan pasar kebanyakan di Indonesia. Namun, warganya menjadi pesona tersendiri bagi saya: Mereka tampak cantik, unik, dan fotogenik.
Saya berkesempatan menikmati terbitnya mentari dari Red Hill, sebuah bukit berpagoda yang menghadap Kota Urumqi. Malam harinya saya juga menyempatkan diri menonton atraksi tari dari suku-suku penjuru Xinjiang. Orang-orang suku Tajik, Kyrgysztan, hingga Tartar menari dengan semangat.
Urumqi, demikian berita yang saya baca, adalah kota yang kurang maju. Namun, pada kenyataannya Urumqi adalah kota modern. Sulit membayangkan, betapa kota di tengah padang tandus ternyata lebih bagus dari kebanyakan kota di Indonesia.
KASHGAR MENJADI KOTA PERSINGGAHAN SAYA BERIKUTNYA.
Kota peradaban tertua di Jalur Sutra yang berbatasan dengan Kyrgysztan dan Tajikistan. Kashgar dikenal sebagai kota persinggahan yang sangat ramai sejak 2000 tahun silam. Pemerintah Tiongkok turut menjaga bangunan bersejarahnya dengan baik. Di sini kebudayaan dan agama Islam berkembang pesat. Kashgar, orang Tiongkok menyebutnya dengan Kashi, adalah mutiara peradaban Xinjiang.
Kashgar memang lebih kecil dan tertinggal dibandingkan Urumqi, namun tidak lebih buruk dari kota menengah di Indonesia. Kota ini rapi, bersih, dan maju. Bahkan, jalanan kotanya jauh lebih bagus daripada kebanyakan jalan di Indonesia. Kota ini cukup sulit dijangkau karena berada di tengah gurun Taklamakan dan Gobi. Transportasi terbaik menuju kota ini adalah menggunakan pesawat dari Urumqi, terbang selama hampir dua jam. Apabila kami memilih jalan darat, tampaknya akan sulit dan lama karena melintasi jalan berbukit yang mengitari gunung.
Saya berharap setelah membeli dagangannya, nenek itu mengizinkan saya untuk memotretnya. Ternyata saya salah, sang nenek menolak. Apa boleh buat.
Jangan pernah untuk tidak ke Old Kashgar, kota lama. Saya menyaksikan kehidupan warga setempat yang menghuni rumah-rumah yang berusia ratusan tahun. Mereka berdagang kerajinan tangan, dari baju muslim hingga topi khas. Saya menjumpai anak-anak mereka yang bermata cokelat, bahkan biru. Mata anak-anak Kashgar sungguh sangat indah memikat!
Saya berjumpa dengan seorang nenek, kira-kira usianya 70 tahun, yang membuat baju tradisi Xinjiang. Berkat aplikasi google translate, saya dapat bertanya dalam bahasa mandarin kepadanya, “Berapa banyak baju yang laku dalam satu hari?” Dia menjawab sambil menunjukkan dua jarinya.
Menurut saya, baju tradisional buatan nenek itu cukup bagus. Saya membeli dua baju dan satu topi lelaki Xinjiang yang langsung saya pakai. Harga yang saya bayarkan pun tidak terlalu mahal, 90 yuan untuk keduanya—sekitar 180 ribu rupiah. Saya berharap setelah membeli dagangannya, nenek itu mengizinkan saya untuk memotretnya. Ternyata saya salah, sang nenek menolak. Apa boleh buat, pelancong boleh berusaha, namun nenek jua yang menentukan.
Masjid Id Kah di Kashgar merupakan masjid terbesar di seantero Tiongkok. Mampu menampung hingga 20.000 orang. Berdasarkan cerita Mohammed, tidak ada kendala bagi umat Muslim di sini untuk berdoa. Seperti yang saya lihat sendiri, mereka dapat berdoa dengan khusyuk. Ketika jam salat tiba, semua kios berhenti berdagang walaupun tidak tutup.
Kashgar juga indah di malam hari. Kami menginap di hotel tengah kota, bersebelahan dengan taman kota yang menghadap patung Mao Zedong terbesar di Tiongkok. Saya terkesima kala menyaksikan mobil bak terbuka yang melintas sembari memainkan gendang dan terompet. Mirip malam takbiran di Indonesia. Sore itu saya menghitung ada tiga iringan mobil yang berbeda. Ternyata, dalam tradisi pernikahan Kashgar, pihak laki-laki akan menaiki mobil yang diarak keliling kota dengan iringan tabuhan gendang dan tiupan terompet.
Saya berjumpa dengan seorang nenek, kira-kira usianya 70 tahun, yang membuat baju tradisi Xinjiang. Berkat aplikasi google translate, saya dapat bertanya dalam bahasa mandarin kepadanya, “Berapa banyak baju yang laku dalam satu hari?” Dia menjawab sambil menunjukkan dua jarinya.
Menurut saya, baju tradisional buatan nenek itu cukup bagus. Saya membeli dua baju dan satu topi lelaki Xinjiang yang langsung saya pakai. Harga yang saya bayarkan pun tidak terlalu mahal, 90 yuan untuk keduanya—sekitar 180 ribu rupiah. Saya berharap setelah membeli dagangannya, nenek itu mengizinkan saya untuk memotretnya. Ternyata saya salah, sang nenek menolak. Apa boleh buat, pelancong boleh berusaha, namun nenek jua yang menentukan.
Masjid Id Kah di Kashgar merupakan masjid terbesar di seantero Tiongkok. Mampu menampung hingga 20.000 orang. Berdasarkan cerita Mohammed, tidak ada kendala bagi umat Muslim di sini untuk berdoa. Seperti yang saya lihat sendiri, mereka dapat berdoa dengan khusyuk. Ketika jam salat tiba, semua kios berhenti berdagang walaupun tidak tutup.
Kashgar juga indah di malam hari. Kami menginap di hotel tengah kota, bersebelahan dengan taman kota yang menghadap patung Mao Zedong terbesar di Tiongkok. Saya terkesima kala menyaksikan mobil bak terbuka yang melintas sembari memainkan gendang dan terompet. Mirip malam takbiran di Indonesia. Sore itu saya menghitung ada tiga iringan mobil yang berbeda. Ternyata, dalam tradisi pernikahan Kashgar, pihak laki-laki akan menaiki mobil yang diarak keliling kota dengan iringan tabuhan gendang dan tiupan terompet.
PERJALANAN KAMI TERUSKAN MENUJU TASHKURGAN
melalui Karakoram Highway yang berlatar Gunung Kunlun di Dataran Tinggi Pamir. Jalan raya itu merupakan salah satu keajaiban konstruksi di dunia karena dibangun dengan membelah gunung dan berada diketinggian ribuan meter diatas permukaaan laut. Selama ini saya meyakini bahwa Kunlun hanya ada dicerita silat kuno yang saya baca atau saya tonton di televisi. Ternyata Kunlun memang ada dikehidupan nyata.Panorama pagi hari dengan latar pemukiman penduduk dan gedung perkantoran. Kota Urumqi merupakan kota dengan penduduk muslim terbesar di Tiongkok (atas). Anak-anak bermain skateboard di kawasan kota tua Kashgar (bawah).
Mohammed mengatakan gunung ini punya cuacanya sendiri, kita tidak bisa begitu saja percaya pada prakiraan cuaca baik ramalan yang gratisan maupun berbayar.
Sepanjang jalan tersaji Gunung Kunlun yang berselimut salju abadi yang indah. Namun suasana agak mencekam ketika kami berhenti di pos pemeriksaan militer Tiongkok, yang lebih mirip pos perbatasan zaman perang Jepang.
Padang rumput Tashkurgan merupakan tujuan selanjutnya. Saya menyaksikan dari dekat kehidupan nomaden masyarakat Tajik. Sekilas warga Tajik seperti kebanyakan orang Rusia. Wajah mereka berlanggam barat, namun bermata sipit.
Saat memasuki yurtz, rumah suku Tajik, saya teringat film Genghis Khan. Seperti kemah, yurtz hanya cukup untuk tiga orang plus dapur kecil bersahaja. Lantainya pun tanah. Seperti kebanyakan keluarga di Tiongkok, pemilik rumah itu hanya memiliki satu anak. Saya menjumpai anak gadisnya yang ternyata seorang dokter! Salut, di rumah yang sangat jauh fasilitasnya, bahkan jauh lebih sederhana dari rumah sangat sederhana di Indonesia, keluarga itu bisa menghasilkan dokter.
Saya sempat menikmati susu kambing yang disediakan keluarga itu. Sambil bercanda sang ibu berbicara kepada kami dalam bahasa Uyghur. “Air kehidupan,” ujarnya. Ternyata bagi mereka yang nomaden, susu kambing menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka.
kami menuju danau karakul, salah satu danau paling eksotik di dunia. Terletak di jajaran pergunungan Pamir dan berlatar pegunungan Muztag Ata yang berbatasan dengan Pakistan. Tujuan saya hanyalah menunggu pagi tiba, melihat matahari terbit yang konon keindahannya sulit dilupakan. Saya dan teman-teman menginap di yurtz. Berbeda dengan yurtz milik keluarga Tajik di Tashkurgan yang berlantai tanah, yurtz
Sepanjang jalan tersaji Gunung Kunlun yang berselimut salju abadi yang indah. Namun suasana agak mencekam ketika kami berhenti di pos pemeriksaan militer Tiongkok, yang lebih mirip pos perbatasan zaman perang Jepang.
Padang rumput Tashkurgan merupakan tujuan selanjutnya. Saya menyaksikan dari dekat kehidupan nomaden masyarakat Tajik. Sekilas warga Tajik seperti kebanyakan orang Rusia. Wajah mereka berlanggam barat, namun bermata sipit.
Saat memasuki yurtz, rumah suku Tajik, saya teringat film Genghis Khan. Seperti kemah, yurtz hanya cukup untuk tiga orang plus dapur kecil bersahaja. Lantainya pun tanah. Seperti kebanyakan keluarga di Tiongkok, pemilik rumah itu hanya memiliki satu anak. Saya menjumpai anak gadisnya yang ternyata seorang dokter! Salut, di rumah yang sangat jauh fasilitasnya, bahkan jauh lebih sederhana dari rumah sangat sederhana di Indonesia, keluarga itu bisa menghasilkan dokter.
Saya sempat menikmati susu kambing yang disediakan keluarga itu. Sambil bercanda sang ibu berbicara kepada kami dalam bahasa Uyghur. “Air kehidupan,” ujarnya. Ternyata bagi mereka yang nomaden, susu kambing menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka.
kami menuju danau karakul, salah satu danau paling eksotik di dunia. Terletak di jajaran pergunungan Pamir dan berlatar pegunungan Muztag Ata yang berbatasan dengan Pakistan. Tujuan saya hanyalah menunggu pagi tiba, melihat matahari terbit yang konon keindahannya sulit dilupakan. Saya dan teman-teman menginap di yurtz. Berbeda dengan yurtz milik keluarga Tajik di Tashkurgan yang berlantai tanah, yurtz
kami berlantai karpet dan hanya beberapa meter dari danau Karakul. Yurtz kami sungguh dingin, tanpa perapian, tanpa dapur, dan tentu saja tanpa toilet.
Sebelum beristirahat malam, saya bertanya soal toilet kepada Mohammed. Dia menjawab, “Di sini, berperilakulah seperti warga setempat yang masih menggunakan cara lama.” Esoknya, saya baru tahu bahwa Mohammed bercanda karena sebenarnya di ujung danau ada toilet sederhana.
tuyog merupakan salah satu desa tua. Saya seperti berada di Afrika yang tandus dengan cuaca hangat. Hampir semua penduduknya Muslim dari suku Uyghur. Sebagian warganya menjual anggur yang telah dikeringkan, kismis. Sebagian lagi hidup dari menjual suvenir kepada pelancong. Hampir semua warganya sulit berbahasa Mandarin apalagi Inggris.
Pernah suatu ketika kami memberikan donasi ke anak-anak yang bermain disana, namun mereka mengembalikan kepada kami karena diminta orang tua mereka. Hanya ada satu masjid yang merupakan satu-satunya tempat ibadah sederhana sejak ratusan tahun silam.
Rumah warga Tuyog sangat sederhana namun terbuat dari batu yang kokoh—lebih baik dari yurtz. Keluarga yang kami kunjungi memiliki rumah sederhana, namun cukup luas dengan dua kamar tidur dan dapur yang merangkap ruang makan. Muslim Uyghur sangat taat, ketika saya meminta izin untuk memotret nyonya rumah, sang suami tidak membolehkan. Sebagai umat Islam, menurut mereka, perbuatan itu tidak pantas. “Kami sebagai wanita muslim di Tiongkok lebih memilih berfoto dengan suami. Bahkan suami saya tidak berfoto dengan wanita lain tanpa saya di sisinya,” kata perempuan itu. Suaminya hanya menyeringai kala mendengarnya.
Sebelum beristirahat malam, saya bertanya soal toilet kepada Mohammed. Dia menjawab, “Di sini, berperilakulah seperti warga setempat yang masih menggunakan cara lama.” Esoknya, saya baru tahu bahwa Mohammed bercanda karena sebenarnya di ujung danau ada toilet sederhana.
tuyog merupakan salah satu desa tua. Saya seperti berada di Afrika yang tandus dengan cuaca hangat. Hampir semua penduduknya Muslim dari suku Uyghur. Sebagian warganya menjual anggur yang telah dikeringkan, kismis. Sebagian lagi hidup dari menjual suvenir kepada pelancong. Hampir semua warganya sulit berbahasa Mandarin apalagi Inggris.
Pernah suatu ketika kami memberikan donasi ke anak-anak yang bermain disana, namun mereka mengembalikan kepada kami karena diminta orang tua mereka. Hanya ada satu masjid yang merupakan satu-satunya tempat ibadah sederhana sejak ratusan tahun silam.
Rumah warga Tuyog sangat sederhana namun terbuat dari batu yang kokoh—lebih baik dari yurtz. Keluarga yang kami kunjungi memiliki rumah sederhana, namun cukup luas dengan dua kamar tidur dan dapur yang merangkap ruang makan. Muslim Uyghur sangat taat, ketika saya meminta izin untuk memotret nyonya rumah, sang suami tidak membolehkan. Sebagai umat Islam, menurut mereka, perbuatan itu tidak pantas. “Kami sebagai wanita muslim di Tiongkok lebih memilih berfoto dengan suami. Bahkan suami saya tidak berfoto dengan wanita lain tanpa saya di sisinya,” kata perempuan itu. Suaminya hanya menyeringai kala mendengarnya.
Turpan adalah kota peradaban di zaman Jalur Sutra. Kota ini telah bertranformasi menjadi kota yang lebih modem. Cuaca bulan Agustus memang tidak panas, mirip cuaca kota Bandung dipagi hari. Bila dibandingkan, Turpan jauh lebih modern dan besar dibandingkan Kashgar. Saya hanya melewati kota ini untuk menginap semalam. Hotel yang kami tempati bisa dikatakan baik, berkamar cukup besar dengan taman anggur yang sangat luas. Anggur tersebut boleh dipetik bebas secara gratis bagi tamu yang menginap. Saya dan teman pun tidak melepaskan kesempatan berpesta anggur. Di Turpan kita bisa menyaksikan Ermin Minaret dan menonton pagelaran tarian daerah dalam Turpan Celebration. Pagelaran ini dibuka dengan suara menggelegar berbahasa Mandarin yang artinya, “Setiap hari adalah perayaan di Turpan.”
konon ketika MARCO polo menyusuri Jalur Sutra, Dunhuang termasuk jalur tersulit baginya. Dunhuang merupakan bagian dari Provinsi Gansu, yang memiliki sedikit sekali warga Muslim. Hampir 80 persen warga Dunhuang adalah suku Han. Masyarakat Tiongkok mengenal Dunhuang sebagai kota talenta tari yang luar biasa. Salah satunya adalah tarian Apsara. Kebetulan sekali tugu kota berupa patung penari Apsara. Kendati panjang kota hanya enam kilometer, Dunhuang sangat
indah dengan kanal-kanal air dan dekorasi lampu kota, juga gurun pasir Taklamakan nan eksotik.
Mingsha Shan yang merupakan bagian dari Gurun Taklamakan sangat unik dengan pasirnya yang bergema. Konon, ketika Marco Polo melewati Taklamakan sempat ketakutan karena menganggap gurun ini berhantu. Mingsha Shan terletak diujung kota dengan berbagai atraksi turis seperti menyusuri gurun dengan unta, mendaki puncak gurun, melihat Crescent Pagoda dari atas hingga memutari langit Mingsha Shan dengan helikopter. Bagi saya kota ini telah menerbitkan rindu, layaknya Yogyakarta yang selalu menarik buat dikunjungi berkali kali.
Kami telah menyusuri penggalan Jalur Sutra di Tiongkok, sejauh lebih dari 7.600 kilometer. Betapa kisah perjalanan Marco Polo telah menginspirasi dan membuat saya bergairah untuk menyelesaikan petualangan ini. Kami menunggang unta membelah Gurun Taklamakan yang berkilau keemasan kala sore. Perlahan kegelapan menyelimuti gurun pasir itu dengan pesona matahari yang lingsir menuju kaki langit.
Sumber : National Geographic
konon ketika MARCO polo menyusuri Jalur Sutra, Dunhuang termasuk jalur tersulit baginya. Dunhuang merupakan bagian dari Provinsi Gansu, yang memiliki sedikit sekali warga Muslim. Hampir 80 persen warga Dunhuang adalah suku Han. Masyarakat Tiongkok mengenal Dunhuang sebagai kota talenta tari yang luar biasa. Salah satunya adalah tarian Apsara. Kebetulan sekali tugu kota berupa patung penari Apsara. Kendati panjang kota hanya enam kilometer, Dunhuang sangat
indah dengan kanal-kanal air dan dekorasi lampu kota, juga gurun pasir Taklamakan nan eksotik.
Mingsha Shan yang merupakan bagian dari Gurun Taklamakan sangat unik dengan pasirnya yang bergema. Konon, ketika Marco Polo melewati Taklamakan sempat ketakutan karena menganggap gurun ini berhantu. Mingsha Shan terletak diujung kota dengan berbagai atraksi turis seperti menyusuri gurun dengan unta, mendaki puncak gurun, melihat Crescent Pagoda dari atas hingga memutari langit Mingsha Shan dengan helikopter. Bagi saya kota ini telah menerbitkan rindu, layaknya Yogyakarta yang selalu menarik buat dikunjungi berkali kali.
Kami telah menyusuri penggalan Jalur Sutra di Tiongkok, sejauh lebih dari 7.600 kilometer. Betapa kisah perjalanan Marco Polo telah menginspirasi dan membuat saya bergairah untuk menyelesaikan petualangan ini. Kami menunggang unta membelah Gurun Taklamakan yang berkilau keemasan kala sore. Perlahan kegelapan menyelimuti gurun pasir itu dengan pesona matahari yang lingsir menuju kaki langit.
Sumber : National Geographic
Dunia Rekreasi |
Demikianlah Artikel “INDONESIA IS GOOD,” hanya itu yang bisa terungkap dari warga Muslim Uyghur
Sekianlah artikel “INDONESIA IS GOOD,” hanya itu yang bisa terungkap dari warga Muslim Uyghur kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel “INDONESIA IS GOOD,” hanya itu yang bisa terungkap dari warga Muslim Uyghur dengan alamat link https://beningindah.blogspot.com/2016/06/indonesia-is-good-hanya-itu-yang-bisa.html
0 Response to "“INDONESIA IS GOOD,” hanya itu yang bisa terungkap dari warga Muslim Uyghur"
Posting Komentar